Tepatnya21
Oktober 2013 sekolahku mengadakan live in ke Desa
Getasan yang berada di daerah Kopeng, Salatiga selama 5 hari 4 malam. Waktu
yang cukup lama pikirku, untuk tinggal di tempat yang mungkin tidak biasa. Sesampainya
di lokasi, aku dan teman teman turun dari bis di Desa Padan, kami berkumpul
dan diberitahu oleh pengurus bahwa aku akan tinggal di rumah Bapak Trimo serta
ditunjukan dimana tempat tinggal yang akan aku tinggali nantinya. Rumah mereka
bercat biru. Setelah itu aku langsung menuju ke rumah itu bersama teman
serumahku nantinya, Verina. Dekat dengan rumah Bapak Trimo, aku melangkahkan
langkahku dengan pelan. Disana ada seorang ibu yang sedang hamil cukup tua,
lantas temanku menanyakan yang mana rumah Bapak Trimo karena dalam satu wilayah
bangunan itu terdapat dua rumah yang saling berhubungan. Ibu itu lalu berkata
bahwa dialah istri dari Bapak Trimo, yaitu Ibu Yanti. Mendengar hal itu kami
langsung bersalaman serta mengenalkan diri dan diantar ke kamar tidur. Saat
kami masuk ke rumah Ibu, aku berpikir bahwa rumah ini tergolong sangat bagus,
beralaskan keramik, berbagai fasilitas ada, dan kamarnya pun diberi spring
bed yang besar. Setelah menaruhkan barang barang kami di kamar, kami keluar ke
ruang tamu untuk bercakap cakap dengan Ibu. Kami disambut dengan sangat baik
serta sangat ramah, merekapun menyiapkan snack dan teh untuk kami.
Aku - Verina - Evan - Aryo
Ternyata di
sebelah rumah Ibu itu adalah rumah orang tuanya, yaitu Pak Marimin dan istrinya.
Rumah tersebut juga ditinggali oleh temanku, yaitu Evan dan Aryo. Suasanapun
sudah cukup mencair , diantara kami ada yang bertanya dimanakah suami Bu Yanti?
. Ternyata suami ibu, Bapak Trimo sedang bekerja di Jogjakarta sebagai penjual
telur dan besok akan pulang ke rumah ini. Ibu juga mempunyai seorang anak
perempuan bernama Octa atau biasa dipanggil Tata yang saat ini berada di bangku
5 SD, selain itu juga ada anak laki laki berkulitkan hitam manis bernama Tegar
, ia adalah anak dari saudara Ibu yang bekerja di luar kota. Setelah cukup
berbicara serta mencairkan suasana yang tadinya tegang, aku pun pergi ke depan
rumah untuk melihat lihat suasana sekitar, oh ... sungguh pemandangan yang
jarang atau mungkin tidak pernah ku dapatkan di kota. Aku, Verina, Aryo, dan
Evan pun mulai bercanda dengan adik adik. Kami pun bermain ular tangga. Iringan senyuman
mengitari suasana itu. Aku sangat bangga sekali, karena bisa melihat senyum
teman, dan adik adikku. Karena aku tidak punya adik, aku merasa bahwa aku
harus menjadi kakak yang baik untuk mereka.
What a beautiful scene!
Keesokan
harinya Pak Trimo pulang ke desa ini. Kami pun senang dan berkenalan dengan
Bapak, ternyata ia sangat ramah dan murah senyum. Pekerjaan Bapak jikalau
pulang kampung halaman adalah membantu
Pak Marimin mencari rumput diladang. Setiap pagi kira kira jam setengah tujuh
kami mengantar Tegar dan Tata ke sekolah, melewati jalan yang tidak biasa
bagiku. Dengan santai mereka melangkahkan kaki ke jalan yang menaik dan menurun, tapi aku? Nafasku keluar dengan cepat alias ngosngos an dan kakiku pun cepat
pegal. Belum ditambah sandal yang tidak terlalu tebal miliku jika menahan batu dibawah rasanya sangat perih
sekali. Setelah itu , kita berempat pun kembali kerumah dan membantu Bapak mencari rumput. Bisa dibilang bahwa kami
berempat seperti rekan yang saling membantu.
Kami pun pergi ke ladang atau bisa
dibilang seperti hutan. Perjalanan kesana memang membutuhkan banyak tenaga,
yah mungkin karena aku dan teman teman tidak terbiasa dengan berjalan kaki
ditambah jalan yang menaik dan menurun serta berbatuan. Kamipun sudah sampai ke
ladang dengan membawa arit. Kucoba mengarahkan arit kerumput yang tingginya
kurang lebih setinggiku dan memegangnya, aaah! Ternyata batang rumput itu dipenuhi
oleh bulu-bulu kecil. Tanganku sangat gatal. Mau tak mau aku harus melaksanakan
tugas ini. Bagaimana bisa aku yang muda kalah dengan kakek yang berusia jauh
lebih tua dariku? Mungkin aku belum terbiasa saja. Ku coba menahan
kemanjaanku, dan sedikit demi sedikit taklukan perasaan malas, kesal, bosan ku
dengan menumbangkan beberapa rumput liar itu. Senyum Pak Marimin terlihat di
mukanya melihat kami yang kaku memotong rumput ini. Setelah beberapa rumput
sudah terkumpul, rumput tersebut di ikat dengan daun papaya yang sudah
kering. Kumpulan itu pun diangkat satu persatu oleh kami atau kadang kadang
berdua – dua. Walaupun “porsi” rumput itu jauh lebih sedikit dari punya Bapak
bahkan sudah diangkat berdua dua kamipun masih kalah kuat darinya, kadang aku
juga banyak mengeluh.. Lalu ku lihat Pak Marimin yang walaupun mungkin tidak
mudah untuk mengangkatnya , ia tidak pernah sekalipun menggerutu. Kegiatan ini
aku lakukan setiap harinya selama kurang dari 5 hari 4 malam. Bahkan ada bekas
luka di kulitku yang masih membekas di kaki dan tanganku akibat kegiatan itu. - Lisa adelin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar